
Di era digital seperti sekarang, serangan terhadap kebebasan pers tak hanya datang dari intimidasi fisik atau tekanan politik, tetapi juga dari dunia maya. Serangan siber terhadap media massa dan jurnalis makin marak. Ironisnya, upaya pemerintah untuk melindungi insan pers dari serangan digital tersebut masih terbilang minim.
Padahal, dalam sistem demokrasi, pers berfungsi sebagai penjaga transparansi, pengawas kekuasaan, dan penyampai suara rakyat. Ketika mereka diserang tanpa perlindungan, demokrasi ikut goyah.
1. Maraknya Serangan Siber: Media Jadi Target Utama
Dalam beberapa tahun terakhir, berbagai media independen mengalami peretasan, DDoS (Distributed Denial of Service), hingga pembajakan akun jurnalis. Situs berita tiba-tiba tak bisa diakses setelah memuat laporan investigatif. Bahkan, ada jurnalis yang akun email atau media sosialnya diambil alih secara ilegal.
Serangan ini jelas bukan kebetulan, apalagi ketika terjadi bersamaan dengan terbitnya berita sensitif yang mengungkap korupsi, pelanggaran HAM, atau isu-isu strategis lainnya.
2. Pemerintah Minim Respons: Di Mana Perlindungan Itu?
Alih-alih bertindak cepat, pemerintah terlihat pasif dalam menanggapi berbagai laporan serangan siber terhadap pers. Tak ada mekanisme tanggap darurat yang kuat, tidak ada tim khusus untuk menyelidiki motif dan pelaku peretasan, bahkan banyak kasus dibiarkan menguap begitu saja.
Padahal, negara punya tanggung jawab konstitusional untuk menjamin kebebasan pers sekaligus melindungi jurnalis dari segala bentuk kekerasan—baik fisik maupun digital.
3. Lemahnya Regulasi dan Payung Hukum
Saat ini, Indonesia belum memiliki regulasi khusus yang secara eksplisit melindungi media dan jurnalis dari serangan digital. Undang-undang Pers hanya mengatur soal kerja jurnalistik secara umum, sementara perlindungan di ruang siber masih bersifat abu-abu.
Akibatnya, ketika serangan terjadi, banyak media dan jurnalis kesulitan melapor atau mendapat penanganan dari aparat. Celah hukum ini harus segera ditutup agar tak terus menjadi alat impunitas bagi pelaku.
4. Dampak Serangan Siber: Membungkam Tanpa Jejak
Berbeda dengan kekerasan fisik yang meninggalkan bekas, serangan siber seringkali tak terlihat tapi sangat merusak. Ketika sebuah media tidak bisa diakses, proses distribusi informasi terganggu. Lebih parah, jika data redaksi dicuri atau dimanipulasi, kredibilitas berita pun bisa dirusak.
Yang lebih mengkhawatirkan, serangan seperti ini bisa menciptakan efek jera, membuat media enggan menyentuh isu-isu sensitif demi keamanan redaksi mereka.
Kesimpulan: Saatnya Negara Hadir dan Bertindak Tegas
Kebebasan pers bukan sekadar hak jurnalis, tapi juga hak publik untuk mendapatkan informasi yang benar dan adil. Maka, negara wajib hadir, bukan hanya sebagai pengamat, tetapi pelindung utama.
Sudah saatnya pemerintah menyusun strategi keamanan siber khusus untuk melindungi pers—dari penguatan regulasi, peningkatan kapasitas digital media, hingga pembentukan tim reaksi cepat. Jika tidak, kita semua akan menjadi korban, bukan hanya jurnalis.