
Program makan bergizi gratis sebenarnya merupakan inisiatif yang patut diapresiasi. Tujuannya jelas: memastikan anak-anak Indonesia tumbuh sehat, cerdas, dan terbebas dari stunting. Namun sayangnya, program ini justru lebih sering dihiasi dengan kisruh—baik dari sisi anggaran, pelaksanaan, hingga koordinasi antarinstansi.
Lalu, mengapa proyek sebaik ini justru sering gagal mencapai tujuannya secara maksimal? Mari kita bahas satu per satu penyebabnya secara lebih rinci.
1. Perencanaan yang Terburu-buru, Eksekusi Jadi Amburadul
Pertama-tama, perencanaan yang tidak matang menjadi sumber utama kekisruhan. Banyak proyek makan bergizi gratis diluncurkan dengan waktu persiapan yang singkat, bahkan tanpa uji coba terlebih dahulu. Alhasil, distribusi makanan menjadi tidak merata, kualitas gizi tidak terstandar, bahkan ada makanan yang basi sebelum sampai ke anak-anak.
Tanpa perencanaan logistik dan manajemen dapur yang tepat, niat baik bisa berubah menjadi bencana di lapangan.
2. Anggaran Fantastis, Tapi Tak Transparan
Program ini memerlukan dana besar. Namun, transparansi penggunaan anggaran masih sangat minim. Banyak pihak mempertanyakan rincian biaya, terutama jika dibandingkan dengan hasil yang diperoleh.
Tak jarang pula isu korupsi dan markup muncul di tengah pelaksanaan. Ketika keuangan negara dikucurkan dalam jumlah besar, tapi manfaat di lapangan tidak terlihat nyata, wajar bila kepercayaan publik menurun drastis.
3. Lemahnya Koordinasi Antarinstansi
Proyek sebesar ini tentu melibatkan banyak pihak—dari kementerian, dinas pendidikan, dinas kesehatan, hingga pemerintah daerah. Sayangnya, koordinasi antarinstansi sering kali tidak berjalan lancar. Masing-masing berjalan dengan standar dan sistemnya sendiri.
Akibatnya, tidak ada pengawasan terpadu, dan ketika terjadi masalah, semua pihak saling lempar tanggung jawab.
4. Minimnya Keterlibatan Masyarakat Lokal
Idealnya, proyek makan bergizi melibatkan dapur umum lokal, UMKM kuliner, hingga petani dan nelayan sekitar. Namun dalam praktiknya, pelaksanaan justru sering diserahkan kepada pihak luar tanpa pemberdayaan masyarakat setempat.
Padahal, jika masyarakat dilibatkan secara aktif, selain meningkatkan kualitas makanan, program ini juga akan berdampak positif terhadap ekonomi lokal.
Kesimpulan: Niat Baik Butuh Sistem yang Baik
Program makan bergizi gratis adalah langkah strategis untuk masa depan generasi bangsa. Namun, tanpa sistem yang terintegrasi, transparansi anggaran, dan pelibatan masyarakat, program ini hanya akan menambah daftar panjang proyek sosial yang gagal.
Pemerintah perlu mengambil langkah tegas: perbaiki perencanaan, bangun pengawasan independen, dan libatkan masyarakat sebagai mitra, bukan objek semata. Dengan begitu, makan bergizi gratis tak lagi jadi proyek kisruh, tapi benar-benar jadi solusi.